
Membaca Untuk Kemuliaan
Oleh Mad Yamin
Bukan saja secara individu bisa terangkat derajat hidupnya lantaran memiliki kebiasaan membaca, namun organisasi negara sekalipun, mampu melesat cepat karena masyarakatnya memiliki kebiasaan membaca sehat. Inilah pertanyaan mendasar dari seorang psikolog asal Amerika David C McClelland (1917-1998), mengapa Inggris dan spanyol pada abad ke-16 merupakan negara kaya namun dalam perkembangannya Inggris justru terus tumbuh, sementara Spanyol terus menurun dan menjadi lemah. Ternyata kata kuncinya terletak kepada buku yang dibaca oleh kedua negara tersebut.
Anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 lebih menyukai bacaan yang menggugah pembacanya bangkit untuk berprestasi, sementara buku yang dibaca anak-anak di Spanyol lebih didominasi cerita romantis, lagu-lagu melodramatis dan tarian yang menghantarkan penikmatnya menjadi lemah emosi, lunak hati bahkan meninabobokan. Hasil penelitian McClelland menunjukan bahwa buku yang mengandung nilai-nilai achievement (hasrat berprestasi) yang tinggi pada suatu negara berbanding lurus dengan tingkat pertumbuhan di negera tersebut. Artinya buku memiliki kekuatan untuk mengubah seseorang bahkan negara.
Bagaimana dengan budaya membaca anak-anak di Indonesia? Berdasarkan data statistik UNESCO 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Ini artinya setiap 1.000 penduduk hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Yang lebih mengejutkan UNDP menyebut bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja, sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Wajar bila kemudian Indonesia menempati barisan nomor dua dari belakang pada daftar 61 bangsa dalam hal minat baca.
Dari beberapa hasil kajian survei, sesungguhnya kemampuan baca anak Indonesia sudah tergolong cukup baik dipentas Asia. Hal ini diungkap oleh project management specialist United States Agency for International Development. Dalam survei menyebutkan bahwa kemempuan membaca kelas awal atau early grade reading assesment ditemukan 48 persen siswa Indonesia kelas awal mampu membaca secara fasih dengan pemahaman. Survei dilakukan terhadap 4.800 murid kelas dua SD di 400 SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di seluruh Indonesia.
Lalu mengapa dalam perkembangan selanjutnya kemampuan minat baca siswa kita masih rendah. Hal ini ditunjukan dengan data perolehan nilai UN bahasa indonesia beberapa tahun ini yang selalu anjlok dibandingkan dengan nilai mata pelajaran yang lain. Dalam soal bahasa indonesia sering dijumpai teks soal yang panjang. Bagi siswa yang malas membaca tidak akan mungkin manjawab soal dengan benar, karena teks harus dibaca tuntas sekaligus bisa dipahami.
Rendahnya budaya litersi (kemampuan membaca dan menulis) di Indonesia salahsatu penyebabnya adalah kurangnya keberpihakan pejabat dan birokrat terhadap budaya litersi. Dukungan setengah hati dan keterpaksaan tak akan memiliki daya pengaruh untuk tumbuh kembangnya litersi di Indonesia. Faktor lain, anak-anak indonesia terlalu betah berlama-lama menonton televisi. Berdasarkan data BPS, jumlah waktu yang digunakan anak indonesia untuk menonton televisi adalah 300 menit perhari. Sedangkan anak-anak di Australia hanya 150 menit perhari, dan di Amerika 100 menit perhari, sementara di Kanada hanya 60 menit perhari.
Penyebab lain dari rendahnya budaya baca adalah tingkat keaktifan anak-anak kita di media sosial sangat tinggi. Sementara dari sisi konten, medsos kita kekurangan nutrisi. Keriuhan bangsa kita dalam Twitter atau Facebook demikian pula dalam aplikasi messenger, seperti Whatsapp dan BBM tidak dibarengi dengan kualitas isinya. Berjam-jam anak kita melototi Facebook yang isinya hanya tangis, kegalauan, pamer makanan, pamer pakaian dan laporan wisata kuliner. Tak jarang tulisan dalam medsos yang mengandung aroma hoax ditelan mentah-mentah tanpa ada saringan kritis.
Banyak dusta yang berseliweran di medsos yang kemudian dipercayai sebagai sebuah kebenaran. Banyak tulisan dan tausiyah keagamaan yang terkesan benar tetapi menyesatkan. Buya Hamka dalam Falsafah Hidup mengingatkan kita, “Jangan menulis sembarangan.” Tiap-tiap tulisan yang dusta, yang menipu, yang tidak berdasarkan kebenaran, walaupun mula-mula ditelan orang, namun zaman kelak akan memuntahkan “kebenaran celupan” itu dari perut orang-orang yang terlanjur menelannya.
Itulah mengapa kita harus kembali mengawali perjalanan hidup dengan memulai membaca. Membaca buku-buku yang bermutu tinggi, membaca buku yang mampu menggerakan jiwa dan raga kita untuk bertumbuh dan berprestasi. Membaca buku bukan sekadar membuka pintu pengetahuan, melainkan juga melatih daya nalar, mempertajam daya kekritisan dan mengasah imajinasi.
Perintah membaca komandonya langsung dari langit berupa wahyu yang diterima langsung oleh Rasululloh. Wahyu pertama surat al-laq (1 – 5) terdapat enam kata berhubungan secara langsung dengan ilmu pengetahuan, yakni iqra (dua kali), ‘allama (dua kali), bil qolam (satu kali) dan maa lam ya’lam (satu kali). Untuk menjadi pencinta dan pengamal ilmu serta melahirkan kembali kemuliaan bangsa, maka kata kuncinya ada pada kegiatan membaca dan menulis. Dengan dua kegiatan ini tidak ada lagi umat yang bodoh dan terkungkung akalnya.
Bila saja mulai saat ini gerakan budaya membaca sudah menjadi gaya hidup bagi anak-anak indonesia, tentu efek yang ditimbulkan akan menghantarkan generasi muda yang optimis dan berprestasi. Dalam jurnal School Library Media Research, Cullinan (2000) menyimpulkan bahwa membaca secara mandiri sangat berpengaruh terhadap pemahaman bacaan, keterampilan berbicara, kekayaan kosakata, dan kesuksesan belajar di sekolah. Dengan demikian kebiasaan membaca sangat berpengaruh terhadap prestasi seseorang.
Yaqut al-Hamawi menyebutkan bahwa seorang ulama besar bernama Al-Jahizh adalah orang yang mencintai buku dan mencintai ilmu. Setiap kali ia mendapatkan buku, ia akan membacanya bagaimanapun kondisinya. Bahkan ia menyewa toko buku dan menginap disana untuk membaca dan mengkaji.
Tiga cendekiawan dunia yang memiliki kebiasaan membaca sangat kuat yaitu, Henry A. Giroux, Edward O Wilson, dan Klaus Herding. Klaus Herding memiliki tradisi membaca lima buku setiap pagi secara konsisten, mulai dari jam tujuh hingga jam sepuluh pagi. Kebiasaan tersebut membuat karier kepenulisannya sangat menegesankan.
Sukarno presiden pertama RI termasuk orang yang konsisten dalam membaca dan menulis. Ketika dalam keadaan sakit sekalipun, didapati banyak buku, surat kabar dan majalah dalam dan luar negeri di samping tempat tidur bapak proklamator ini. Demikian pula dengan Bung Hatta yang membawa 16 peti berisi buku sepulang dari Belanda, ia adalah orang yang sangat tekun dalam membaca, dan buku yang ditulisnya masih menjadi rujukan bagi akademisi kampus sampai saat ini.
Tradisi membaca bagi tokoh-tokoh bangsa seperti telah berurat berakar, karena sejak kecil mereka telah dikenalkan dengan buku-buku bacaan yang menggugah. Bukan di sekolah mereka dapatkan buku-buku bermutu tetapi orang tua mereka selalu siap untuk mengeluarkan dana dari kantongnya sendiri untuk membeli buku.
Ditengah gempuraan gelombang teknologi dan informasi yang kian deras, budaya membaca harus terus digelorakan. Para pencuri dan penghalang budaya baca seperti media televisi, games, handphone dan seterusnya harus dilawan dengan kebiasaan membaca buku, bacalah buku disetiap ada peluang dan kesempatan.
Demikian pula dengan para guru, dituntut untuk kaya inisiatif dalam membangun budaya baca di sekolah. Berikan contoh terbaik untuk mengkayakan diri dengan ilmu lewat membaca buku. Bila guru malas membaca, sebaiknya bersegera untuk mengundurkan diri menjadi guru. Sebab kata M. Nuh mantan Mendikbud diera SBY, bila guru berhenti belajar maka berhenti pulalah mengajar.(*)